Harga Barang Barang Mahal Akibat Inflasi Dan Adanya Blokade Ekonomi Oleh
Jenis Inflasi Berdasarkan Penyebabnya
Oke, sekarang gue harap elo udah paham tentang 2 komponen dasar yang mempengaruhi inflasi.
Sekarang, yuk telusuri lebih detail lagi tentang fenomena inflasi: Seorang ekonom bernama John M. Keynes punya pandangan bahwa penyebab dari fenomena inflasi bisa dibagi menjadi 2 jenis, yaitu Cost-push Inflation dan Demand-pull Inflation.
Elo tau nggak kalo bulan Februari 2022 harga BBM pertalite di Kepulauan Riau, harganya Rp8.000/liter! Loh kok mahal amat?
Di kawasan Indonesia Barat terutama di Pulau Jawa, harganya dipukul rata yaitu Rp7.650/liter.
Kenapa bisa beda begitu? Karena sebelum tahun 2016, pemerintah memang masih sangat kesulitan melakukan proses distribusi BBM ke daerah Indonesia timur karena keterbatasan infrastruktur dan transportasi.
Akibatnya, pasokan BBM di sana jumlahnya jauh lebih sedikit daripada kebutuhan masyarakatnya. Orang yang butuh banyak, tapi jumlah pasokan barang sedikit. Ujung-ujungnya apa?
Ya supaya terseleksi siapa yang layak kebagian barang, harganya meningkat setinggi langit! Secara teori di pelajaran ekonomi seringkali dijelaskan dengan D>S, kelebihan permintaan (excess demand), maka P akan naik.
Nah, situasi yang seperti inilah yang dikenal dengan Cost-push Inflation atau Inflasi Desakan Harga.
Inflasi jenis ini terjadi karena kelangkaan barang akibat dari proses distribusi yang ngga lancar, atau terjadi bencana alam, panen gagal, atau kesulitan mendapatkan bahan baku sehingga proses produksi jadi terganggu.
Cara Penanggulangan Inflasi
Oke, sekarang elo tahu bahwa inflasi bisa berdampak positif dalam takaran tertentu, tapi bisa negatif jika kebablasan. Elo juga udah tau pengklasifikasian bahaya inflasi. Sekarang pertanyaan berikutnya adalah:
Bagaimana caranya mengendalikan tingkat inflasi sebuah negara supaya ga kebablasan?
Pastinya pihak pemerintah punya jurus tertentu dong agar tidak terjadi inflasi yang kebablasan. Gimana sih cara ngejaganya? Salah satu perangkat negara ada yang namanya bank sentral.
Kalo di Indonesia, bank sentralnya dikenal dengan nama Bank Indonesia. Nah, salah satu tugas BI inilah untuk menjaga inflasi agar tetap pada level yang wajar. Gimana caranya?
Yang pertama adalah dengan menentukan tingkat suku bunga acuan, yang juga dikenal dengan BI Rate. Selain itu, ada juga kebijakan pengendalian Jumlah Uang Beredar (JUB) atau Money Supply.
Mungkin elo bingung, apa hubungannya tingkat suku bunga dengan pengendalian inflasi? Jadi gini penjelasannya:
Ada 1 tolak ukur yang selalu menjadi landasan bagi para pelaku ekonomi (pengusaha, pedagang, investor, dll) untuk membuat keputusan. Tolok ukur itu adalah tingkat bunga.
Tingkat bunga yang dimaksud di sini, mencakup banyak hal, contohnya bunga tabungan masyarakat, bunga deposito, bunga kredit pinjaman bank, dll.
Nah, naik-turunnya tingkat bunga ini akan menjadi landasan bagi para pelaku ekonomi untuk memutuskan uang mereka mau digerakkan ke mana, apakah disalurkan untuk berinvestasi, disimpen di bank, atau diputer uangnya dalam usaha ekonomi riil.
Dalam kondisi ini, Bank Indonesia (BI) adalah pihak yang berwenang untuk menentukan BI Rate.
BI Rate inilah yang akan menjadi acuan bagi para bankir untuk mengambil keputusan berapa persen bunga tabungan masyarakat, berapa % bunga deposito, bunga berbagai kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat, dll.
Terus gimana ceritanya BI rate ini bisa mengendalikan inflasi supaya gak terlalu tinggi?
Sederhananya gini, begitu BI melihat laju inflasi tinggi, BI Rate akan mereka naikkan! Lho kok malah dinaikkan?
Tujuannya adalah agar masyarakat dan investor menyetorkan uangnya ke bank dalam berbagai bentuk, bisa jadi simpanan atau deposito, ataupun instrumen pasar modal lainnya.
Lho iya dong, kalo bunga tinggi kan lebih untung kalo duit kita ditaro di bank, aman bebas risiko, duit nambah terus secara otomatis, ga perlu repot investasi atau jalanin usaha yang berisiko gagal.
Tapi di sisi lain, tanpa sadar hal itu juga akan berpengaruh pada jumlah uang beredar. Karena semakin kecil jumlah uang beredar, inflasi semakin bisa ditekan.
Yang kedua, BI harus mengontrol inflasi namanya Operasi Pasar Terbuka atau Open Market Operation. Prinsipnya sama, yaitu pengontrolan jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Namun untuk bisa meminimalisir jumlah uang beredar, BI secara aktif melakukan penjualan atau pembelian surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, yang dikenal dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). SBI ini bentuknya macem-macem, dari surat-surat berharga (tanah), sampai kepemilikan saham, dsb.
Tujuannya adalah supaya pelaku ekonomi tertarik untuk membeli SBI sehingga jumlah uang beredar jadi berkurang dan beralih menjadi bentuk tabungan.
Kedua cara di atas sebetulnya bisa dilakukan untuk mengontrol deflasi (kebalikan dari inflasi). Jika BI melihat bahwa deflasi sudah semakin parah, maka BI akan menurunkan BI rate dan akan membeli surat-surat berharga.
Tujuannya supaya uang beredar bertambah. Sebaliknya kalo BI menilai bahwa jumlah uang yang beredar itu terlalu sedikit sehingga inflasi jadi terlalu rendah, maka BI akan melakukan pembelian SBI dari masyarakat.
Tujuan lainnya supaya masyarakat memegang uang lebih banyak dan meningkatkan konsumsinya, sehingga pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Oh iya, selain materi Ekonomi, elo juga bisa belajar mata pelajaran lainnya lho bareng Zenius, kayak Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Geografi, dll.
Elo bisa gabung ke paket Zenius Aktiva Sekolah yang bisa bantu elo #GantiCaraBelajar materi sekolah khusus TA 2022/2023 dengan live bersama Master Tutor!
Selain itu, di tahun ajaran baru ini, elo juga bisa dapet diskon hampir 80% lho. Elo bisa langsung pilih jenis paket Zenius Aktiva Sekolah sesuai kebutuhan dengan klik banner di bawah ini ya!
Dan buat elo yang mau liat pembahasan soal dan kumpulan materi dari berbagai mata pelajaran termasuk materi yang sering muncul di UTBK yang dijelaskan langsung oleh tutor-tutor master Zenius, elo bisa liat contoh soal dan pembahasan lengkapnya dengan cara klik banner ini ya!
Kalau elo punya pertanyaan maupun pernyataan, jangan ragu buat komen di kolom komentar, oke?
Sampai sini dulu artikel inflasi dan hubungannya dengan kenaikan harga kali ini dan sampai jumpa di artikel selanjutnya Sobat Zenius!
Originally published: November 25, 2016Updated by: Arieni Mayesha dan Sabrina Mulia Rhamadanty
Pernahkah anda merasa bahwa semakin lama, harga barang dan jasa semakin naik?
Ingatlah masa-masa SD dulu, di mana harga bakso dijual dengan harga yang sangat terjangkau, bahkan bisa mencapai hanya 5.000 rupiah atau bahkan lebih murah lagi.
Namun, di tahun 2023 ini, harga bakso bisa mencapai 15.000 rupiah. Begitu pula dengan ongkos angkot, yang dulu hanya 2.000 rupiah, kini telah naik menjadi 5.000 rupiah.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada bakso atau ongkos angkot, melainkan pada berbagai jenis barang dan jasa.
Pangkas jalur distribusi
Lantas apa solusinya? Untuk meringankan beban masyarakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan inflasi rendah sebagai indikator kesejahteraan. Pemerintah harus memastikan distribusi bahan pokok lancar dan bebas spekulasi harga agar tercapai stabilisasi harga bahan pokok. Bayangkan betapa lega rasanya kalau bahan pokok seperti beras, gula atau minyak goreng bisa dibeli lebih murah di lingkungan kita sendiri. Pemerintah perlu rutin mengadakan pasar murah di kelurahan atau desa. Tak hanya untuk momen-momen tertentu seperti Ramadan, tapi sepanjang tahun. Dengan begitu, ibu-ibu tak perlu cemas menghitung-hitung uang belanja tiap hari.
Baca Juga: Program Rumah Rakyat Diusulkan Masuk PSN
Memangkas jalur distribusi. Jika petani atau produsen bisa langsung menjual hasil panennya ke pasar atau melalui koperasi, harga bisa lebih terjangkau. Distribusi yang efisien juga berarti bahan pokok sampai lebih cepat dan segar ke tangan konsumen. Kadang kita lupa bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan selain beras. Singkong, jagung atau sorgum bisa jadi alternatif.
Pemerintah perlu menggalakkan kembali konsumsi pangan lokal, sekaligus membantu petani memasarkan produk-produk ini. Kalau masyarakat mulai terbiasa, ketergantungan pada beras bisa berkurang, dan harga pun jadi lebih terkendali. Upah yang diterima sering kali tak cukup untuk mengejar kenaikan harga barang. Pemerintah perlu memastikan gaji terutama upah minimum benar-benar disesuaikan dengan kondisi lapangan, termasuk harga bahan pokok. Jangan sampai masyarakat terus merasa "gaji segini-gini aja, tapi harga terus naik."
Baca Juga: Persaingan Kian Ketat di Industri Telekomunikasi
Kartel dan spekulasi harga sering kali menjadi biang kerok kenaikan bahan pokok. Ini harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Pemerintah harus tegas terhadap pelaku yang bermain curang demi keuntungan pribadi.
Mahalnya harga bahan pokok bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana masyarakat bisa hidup dari hari ke hari. Memastikan harga kebutuhan stabil bukan cuma persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan kemanusiaan.
Baca Juga: Upah Minimum Pekerja di Jakarta Rp 5,39 Juta
Pada akhirnya, kesejahteraan harus dirasakan semua orang. Oleh karena itu, inflasi rendah memang penting, tapi tanpa harga bahan pokok yang terjangkau, masyarakat tetap akan merasa hidup semakin mahal. Dengan menggabungkan pendekatan jangka pendek (subsidi dan stabilisasi harga) serta jangka panjang (reformasi struktural dan pemberdayaan), kita bisa memastikan tidak ada lagi yang merasa terpinggirkan dalam perjalanan menuju kesejahteraan nasional. Harga stabil, daya beli meningkat, kesejahteraan pun akan merata.
Ridho Ilahi | Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keluhan tentang mahalnya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat kembali mencuat akhir-akhir ini. Anehnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia relatif rendah. Pada 2022, inflasi tercatat sebesar 5,42%, sedangkan pada 2023 hanya 2,86%. Bahkan hingga November 2024, inflasi berada pada tingkat 1,55%, dengan empat bulan berturut-turut mengalami deflasi. Lantas, mengapa masyarakat tetap merasa harga barang semakin mahal?
Inflasi adalah ukuran kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Tapi di balik angka-angka tersebut, ada cerita yang lebih rumit. Kalau harga sebagian besar barang stabil atau turun, inflasi terlihat rendah meskipun harga beras, gula atau minyak goreng melambung tinggi. Di sinilah letak masalahnya. Bagi kebanyakan orang, terutama yang berpenghasilan rendah, barang-barang seperti beras atau minyak goreng adalah kebutuhan utama. Kalau harga barang-barang itu naik, mereka langsung merasa terpukul, meskipun inflasi secara keseluruhan tetap rendah.
Baca Juga: Langkah RI Menciptakan Mini World Bank, Pembiayaan Khusus Untuk Infrastruktur Daerah
Bayangkan dua keluarga, satu berpenghasilan tinggi dan satu lagi pas-pasan. Keluarga kaya membeli berbagai macam barang: kebutuhan pokok, barang mewah, hingga liburan. Kalau harga beras naik, hanya sedikit memengaruhi anggaran karena total pengeluarannya tersebar di banyak hal.
Sebaliknya, keluarga berpenghasilan rendah dominan menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok. Jadi, kalau harga bahan makanan naik, dampaknya terasa sangat besar. Wajar jika mereka sering mengeluh. Ini sejalan dengan Hukum Engel, yang mengatakan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar proporsi penghasilannya yang dihabiskan untuk kebutuhan dasar. Kenaikan harga bahan pokok sedikit saja cukup membuat mereka kewalahan.
Baca Juga: Saham EMTK & SCMA Melejit, Berkat Kinerja Vidio Atau Sentimen Akumulasi Induk Usaha?
BPS mencatat inflasi makanan, minuman, dan tembakau (kelompok yang sering dikonsumsi masyarakat berpenghasilan rendah) mencapai 0,56% (mtm) pada November 2024. Bandingkan dengan inflasi umum yang hanya 0,24% (mtm) pada November 2024.
Jadi, meski inflasi terlihat rendah, bagi masyarakat miskin, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Hal ini juga tecermin dari kenaikan garis kemiskinan (GK). Pada Maret 2024, GK berada di level Rp 582.932 per kapita per bulan, naik dari Rp 550.458 tahun sebelumnya. Dengan penghasilan segitu, orang miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar, apalagi kalau penghasilannya tidak ikut naik.
Baca Juga: Melelang Harta Koruptor nan Mewah
Kenaikan GK menunjukkan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan orang miskin harus tumbuh lebih cepat daripada inflasi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5% tidak cukup untuk mengejar kenaikan GK yang mencapai 5,9%. Kelompok rentan miskin juga berada dalam bahaya. Mereka yang sebelumnya "nyaris tidak miskin" bisa saja jatuh ke jurang kemiskinan jika harga bahan pokok terus naik tanpa diimbangi kenaikan pendapatan.
Pangkas jalur distribusi
Lantas apa solusinya? Untuk meringankan beban masyarakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan inflasi rendah sebagai indikator kesejahteraan. Pemerintah harus memastikan distribusi bahan pokok lancar dan bebas spekulasi harga agar tercapai stabilisasi harga bahan pokok. Bayangkan betapa lega rasanya kalau bahan pokok seperti beras, gula atau minyak goreng bisa dibeli lebih murah di lingkungan kita sendiri. Pemerintah perlu rutin mengadakan pasar murah di kelurahan atau desa. Tak hanya untuk momen-momen tertentu seperti Ramadan, tapi sepanjang tahun. Dengan begitu, ibu-ibu tak perlu cemas menghitung-hitung uang belanja tiap hari.
Baca Juga: Program Rumah Rakyat Diusulkan Masuk PSN
Memangkas jalur distribusi. Jika petani atau produsen bisa langsung menjual hasil panennya ke pasar atau melalui koperasi, harga bisa lebih terjangkau. Distribusi yang efisien juga berarti bahan pokok sampai lebih cepat dan segar ke tangan konsumen. Kadang kita lupa bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan selain beras. Singkong, jagung atau sorgum bisa jadi alternatif.
Pemerintah perlu menggalakkan kembali konsumsi pangan lokal, sekaligus membantu petani memasarkan produk-produk ini. Kalau masyarakat mulai terbiasa, ketergantungan pada beras bisa berkurang, dan harga pun jadi lebih terkendali. Upah yang diterima sering kali tak cukup untuk mengejar kenaikan harga barang. Pemerintah perlu memastikan gaji terutama upah minimum benar-benar disesuaikan dengan kondisi lapangan, termasuk harga bahan pokok. Jangan sampai masyarakat terus merasa "gaji segini-gini aja, tapi harga terus naik."
Baca Juga: Persaingan Kian Ketat di Industri Telekomunikasi
Kartel dan spekulasi harga sering kali menjadi biang kerok kenaikan bahan pokok. Ini harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Pemerintah harus tegas terhadap pelaku yang bermain curang demi keuntungan pribadi.
Mahalnya harga bahan pokok bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana masyarakat bisa hidup dari hari ke hari. Memastikan harga kebutuhan stabil bukan cuma persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan kemanusiaan.
Baca Juga: Upah Minimum Pekerja di Jakarta Rp 5,39 Juta
Pada akhirnya, kesejahteraan harus dirasakan semua orang. Oleh karena itu, inflasi rendah memang penting, tapi tanpa harga bahan pokok yang terjangkau, masyarakat tetap akan merasa hidup semakin mahal. Dengan menggabungkan pendekatan jangka pendek (subsidi dan stabilisasi harga) serta jangka panjang (reformasi struktural dan pemberdayaan), kita bisa memastikan tidak ada lagi yang merasa terpinggirkan dalam perjalanan menuju kesejahteraan nasional. Harga stabil, daya beli meningkat, kesejahteraan pun akan merata.
Halo Sobat Zenius, di artikel kali ini gue mau membahas sebuah fenomena ekonomi yang pasti kita semua pernah rasakan, yaitu fenomena kenaikan harga barang secara umum yang sering disebut sebagai inflasi.
Yak, bisa ditebak sesuai dengan judulnya: Gue mau mengupas tuntas sebuah pertanyaan yang mungkin bikin elo penasaran selama ini:
“Kenapa ya harga-harga barang setiap tahun selalu naik terus? Kenapa ga sesekali harganya turun aja sih?”
Zaman gue dulu masih SMA, sekitar tahun 1990-an akhir (eh ketauan tuanya deh gue :p) uang jajan gue “cuma” Rp5.000/hari. Wah dikit amat ya?
Tapi dengan uang segitu, dulu gue udah bisa bayar ongkos angkot pulang pergi sekolah, makan siang, malahan masih ada sisa buat jajan sepulang sekolah. Lho kok bisa?
Ya, zaman gue dulu SMA, tarif angkot Rp500 sekali naik, terus makan nasi sama soto ayam di kantin sekolah palingan Rp2.500. Murah banget ya kalo dilihat di tahun 2022 sekarang.
Coba bandingin lagi harga barang-barang zaman sekarang dengan beberapa tahun yang lalu, sebetulnya semua harga barang di sekitar juga terus naik kok!
Coba elo inget-inget aja mulai dari harga gorengan, air mineral, sampai harga komik di toko buku juga naik melulu setiap tahun! Kok bisa sih?
Kenaikan harga barang ini juga sebetulnya ga selalu terjadi dalam jangka waktu tahunan, bisa jadi terjadi dalam waktu hitungan bulan.
Iseng-iseng coba deh cek di internet, harga minyak goreng di bulan Februari 2022 kemarin kurang lebih Rp13.000;-an/l, terus di awal Maret 2022 naik lagi sampe Rp15.000;-an/l.
Gila, minyak goreng kok harganya naik terus ya? Kenapa sih harganya ngga sama aja ya?
Ini para pedagang yang mainin harga supaya cepet kaya apa gimana sih? Atau jangan-jangan, ini artinya kondisi ekonomi di Indonesia terus memburuk dari tahun ke tahun?
“Apakah kenaikan harga menunjukkan bahwa Ekonomi Indonesia terus memburuk?”
Apakah Inflasi Selalu Menandakan Bahwa Kondisi Ekonomi Memburuk?
Nah, setelah elo mengetahui komponen apa aja yang penyebab inflasi, sekarang pertanyaannya:
“Apakah inflasi itu buruk? Apakah inflasi itu selalu menunjukkan bahwa ekonomi suatu negara buruk?”
Kalo elo cek data ekonomi negara manapun di dunia ini, pasti akan nemuin yang namanya laju atau tingkat inflasi. Meskipun yang kita cek adalah negara paling maju dan makmur di dunia ini sekalipun.
Lho emang semua negara mengalami inflasi? Jawabannya IYA.
Inflasi emang merupakan salah satu fenomena dalam ekonomi makro yang sangat umum alias sangat wajar.
Terus pertanyaannya sekarang, inflasi tuh sebenarnya hal yang positif apa negatif sih? Kalo liat dari apa yang udah dibahas dari tadi sih kok kayaknya negatif ya? Siapa sih yang suka sama kenaikan harga?
Kalo harga barang dan jasa naik terus, berarti kan masyarakatnya juga harus cari uang lebih banyak lagi dong ya buat memenuhi kebutuhan hidupnya? Kedengerannya kok bukan kondisi yang bagus sih?
Masih inget cerita gue tadi soal uang jajan gue zaman gue SMA? Dari cerita itu keliatan kan ya kalo nilai uang Rp5.000 di tahun 1990-an emang jauh tinggi nilainya dibanding Rp5.000 sekarang. Padahal nominalnya sama-sama Rp5.000.
Berarti dapat disimpulkan ya bahwa inflasi membuat nilai uang semakin berkurang harganya.
Hal ini jelas akan merugikan ya kalo misalnya elo nabung sebanyak-banyaknya di celengan. Karena 10 tahun kemudian, uang yang ditabungin itu nilainya bakalan lebih kecil dibanding waktu tabungin.
Sekarang coba elo liat deh kehidupan sehari-hari buat orang-orang yang bekerja. Misalnya seorang karyawan di perusahaan A dapet gaji Rp3.000.000/bulan. Dia udah kerja di perusahaan A itu selama 8 tahun dan gajinya dari dulu segitu.
Kebayang kan bahwa 8 tahun yang lalu, dengan uang Rp3.000.000 itu dia mungkin bisa beli macem-macem. Tapi nilai uangnya sekarang udah nggak segede dulu lagi, karena selama 8 tahun ini terjadi inflasi.
Nah, ini kan sebenernya berarti pendapatan dia turun toh? Nominalnya sih nggak turun, tapi nilai riil-nya turun kan ya? Inilah yang dibilang kalau inflasi tuh menurunkan pendapatan riil seseorang.
Makanya biasanya perusahaan ada kebijakan kenaikan gaji karyawan setiap tahunnya, dan seharusnya kenaikan gaji ini juga menyesuaikan dengan tingkat inflasi.
Jadi balik lagi nih, apakah inflasi tuh selalu merugikan perekonomian? Jawabannya: Nggak selalu merugikan. Kenapa kok ga selalu merugikan? Karena dalam kenyataannya, adanya inflasi juga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Lho kok bisa? Coba ya liat deh, kalo misalnya terjadi inflasi nih di Indonesia karena jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat sebagai akibat dari banyaknya kredit yang dikucurkan oleh pihak perbankan, pasti masyarakat bakalan beli barang dan jasa lebih banyak lagi kan?
Sebagai akibatnya, permintaan secara umum atau Aggregate Demand kan jadinya meningkat tuh, terus terjadilah inflasi.
Tapi di sisi lain, peningkatan konsumsi masyarakat ini pada akhirnya meningkatkan Pendapatan Nasional atau Produk Domestik Bruto/PDB (Gross Domestic Product/GDP) kan?
Dalam pengertian lain, inflasi pada tingkat tertentu dibutuhkan untuk mendorong roda ekonomi untuk terus maju.
Inget salah satu cara menghitung pendapatan nasional adalah dengan menggunakan persamaan berikut:
Ridho Ilahi | Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keluhan tentang mahalnya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat kembali mencuat akhir-akhir ini. Anehnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia relatif rendah. Pada 2022, inflasi tercatat sebesar 5,42%, sedangkan pada 2023 hanya 2,86%. Bahkan hingga November 2024, inflasi berada pada tingkat 1,55%, dengan empat bulan berturut-turut mengalami deflasi. Lantas, mengapa masyarakat tetap merasa harga barang semakin mahal?
Inflasi adalah ukuran kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Tapi di balik angka-angka tersebut, ada cerita yang lebih rumit. Kalau harga sebagian besar barang stabil atau turun, inflasi terlihat rendah meskipun harga beras, gula atau minyak goreng melambung tinggi. Di sinilah letak masalahnya. Bagi kebanyakan orang, terutama yang berpenghasilan rendah, barang-barang seperti beras atau minyak goreng adalah kebutuhan utama. Kalau harga barang-barang itu naik, mereka langsung merasa terpukul, meskipun inflasi secara keseluruhan tetap rendah.
Baca Juga: Langkah RI Menciptakan Mini World Bank, Pembiayaan Khusus Untuk Infrastruktur Daerah
Bayangkan dua keluarga, satu berpenghasilan tinggi dan satu lagi pas-pasan. Keluarga kaya membeli berbagai macam barang: kebutuhan pokok, barang mewah, hingga liburan. Kalau harga beras naik, hanya sedikit memengaruhi anggaran karena total pengeluarannya tersebar di banyak hal.
Sebaliknya, keluarga berpenghasilan rendah dominan menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok. Jadi, kalau harga bahan makanan naik, dampaknya terasa sangat besar. Wajar jika mereka sering mengeluh. Ini sejalan dengan Hukum Engel, yang mengatakan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar proporsi penghasilannya yang dihabiskan untuk kebutuhan dasar. Kenaikan harga bahan pokok sedikit saja cukup membuat mereka kewalahan.
Baca Juga: Saham EMTK & SCMA Melejit, Berkat Kinerja Vidio Atau Sentimen Akumulasi Induk Usaha?
BPS mencatat inflasi makanan, minuman, dan tembakau (kelompok yang sering dikonsumsi masyarakat berpenghasilan rendah) mencapai 0,56% (mtm) pada November 2024. Bandingkan dengan inflasi umum yang hanya 0,24% (mtm) pada November 2024.
Jadi, meski inflasi terlihat rendah, bagi masyarakat miskin, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Hal ini juga tecermin dari kenaikan garis kemiskinan (GK). Pada Maret 2024, GK berada di level Rp 582.932 per kapita per bulan, naik dari Rp 550.458 tahun sebelumnya. Dengan penghasilan segitu, orang miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar, apalagi kalau penghasilannya tidak ikut naik.
Baca Juga: Melelang Harta Koruptor nan Mewah
Kenaikan GK menunjukkan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan orang miskin harus tumbuh lebih cepat daripada inflasi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5% tidak cukup untuk mengejar kenaikan GK yang mencapai 5,9%. Kelompok rentan miskin juga berada dalam bahaya. Mereka yang sebelumnya "nyaris tidak miskin" bisa saja jatuh ke jurang kemiskinan jika harga bahan pokok terus naik tanpa diimbangi kenaikan pendapatan.
Indeks Harga Produsen (IHP) atau Producer Price Index (PPI)
Selain pendekatan IHK, ada juga pendekatan IHP. Pada dasarnya kedua pendekatan ini sama-sama mau menghitung perkiraan tingkat inflasi.
Cuma kalo IHK meninjau dari sisi harga yang dibayar konsumen, kalo IHP meninjau indeksnya dari harga produsen, yaitu harga yang diterima oleh produsen dalam menjual barang dan jasanya.
Jadi intinya harga produsen adalah harga dasar, yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Seperti IHK juga, untuk IHP tim BPS menentukan sekelompok barang dan jasa di berbagai sektor seperti pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri pengolahan, akomodasi, makanan dan minuman di 8 provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Papua.
Dalam praktiknya, memang pendekatan IHP ini lebih jarang dipake untuk ngitung inflasi. Alasannya, karena memang lebih sulit mengumpulkan data pembelanjaan industri yang pastinya menyangkut rahasia dapur dari banyak perusahaan. Jadi pada prakteknya hal ini lebih sulit dilakukan dibandingin dengan ngumpulin data IHK.
Jenis Inflasi Berdasarkan Asal Penyebabnya
Oke, secara garis besar elo pasti makin paham penyebab dari fenomena inflasi. Tapi yuk coba gali lagi lebih mendalam tentang penyebab inflasi.
Dalam melihat fenomena ekonomi secara nyata, gak bisa lupa bahwa dunia udah semakin terintegrasi, terutama dari sisi ekonominya.
Gampang banget ngeliatnya di kehidupan sehari-hari. Coba deh cek, seluruh gadget elo buatan mana? peralatan elektronik rumah tangga seperti AC, kulkas, TV, rice-cooker, dll buatan mana? Nah, ada banyak banget produk yang digunakan itu tidak hanya melibatkan industri dalam negeri lho.
Hubungan industri ini gak hanya dalam level barang konsumsi saja, tapi juga pada level bahan baku, seperti biji besi, timah, kapas, gula, pasir, kayu, semen, dll.
Dari situ dapat dilihat bahwa iklim industri di luar akan berdampak juga pada kondisi ekonomi di Indonesia, dan juga sebaliknya.
Hubungan ekonomi antar negara inilah yang juga memungkinkan terjadinya inflasi. Inflasi yang terjadi di negara lain bisa ikutan “kebawa-bawa” sampai ke Indonesia juga lho ketika belanja dari negara lain.
Makanya inflasi juga bisa dikelompokkan berdasarkan sumbernya, yaitu Imported Inflation dan Domestic Inflation.
Inflasi jenis ini bisa terjadi ketika negara melakukan pembelian dari negara yang sedang mengalami inflasi yang tinggi, sehingga barang-barang di negara tersebut kan tinggi tuh.
Jadi kebawa deh harga tingginya itu ke pasar domestik. Misalnya pemilik toko alat elektronik seperti handphone atau laptop, yang bahan bakunya kebanyakan berasal dari China.
Kalo pas China lagi mengalami inflasi yang tinggi, maka harga barang-barang tersebut dari negeri asalnya juga pasti akan jadi lebih mahal kan?
Karena para importir di Indonesia mendapatkan barang dengan harga lebih mahal dari biasanya, apa yang mereka lakukan pas dijual di Indonesia?
Yak, harganya juga akan lebih mahal. Inilah yang disebut dengan imported inflation, karena inflasi yang sebenernya terjadi di negara lain jadi kebawa-bawa masuk ke negara melalui hubungan dagang tadi.
Inflasi domestik berarti dalam negeri dong, maksudnya gimana nih? Hal ini terjadi sebagai akibat dari pengambilan kebijakan-kebijakan ekonomi dalam negeri yang kurang tepat.
Nanti gue bakalan bahas tentang penanggulangan inflasi melalui berbagai kebijakan dari Bank Indonesia. Nah, kalo pengambilan kebijakan itu dilakukan di saat yang tidak tepat, maka bisa jadi terjadi inflasi.
Selain kesalahan keputusan dari Bank Indonesia, kebijakan pemerintah yang pada akhirnya menyebabkan harga terdorong naik adalah kebijakan mengenai pajak.
Kalo elo masih inget tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (konten zenius.net kelas XI K2013 tentang APBN dan APBD).
Di situ dibahas salah satu sumber pendapatan pemerintah adalah melalui penerimaan pajak yang harus dibayarkan oleh perorangan dan juga oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia.
Nah, kalo pemerintah menetapkan pajak yang terlalu rendah, sedangkan belanja negaranya tinggi, akhirnya kan APBN-nya defisit. Kalo udah defisit gitu, kemungkinan besar pemerintah harus memotong anggaran belanjanya.
Kalo yang dipotong adalah anggaran belanja untuk pembangunan infrastruktur, ini berpotensi untuk memicu inflasi.
Karena akhirnya distribusi barang jadinya terganggu karena dukungan infrastruktur yang kurang. Hal kayak inilah yang disebut dengan domestic inflation, karena disebabkan oleh faktor-faktor yang terjadi di dalam negeri.
Cara Menghitung Inflasi Tahunan
Nah, setelah elo sudah mengetahui komponen-komponen yang menyebabkan inflasi, gue harap itu semua udah cukup menjawab pertanyaan kenapa harga barang yang dikonsumsi sehari-hari selalu naik setiap tahun.
Sekarang masalahnya, tingkat kenaikan itu bisa dihitung ga? Seberapa besar tingkat inflasi? Sampai sejauh mana inflasi dikatakan wajar? Bagaimana cara mengukurnya?
Biasanya di tiap negara ada sebuah badan pemerintah yang ngurusin statistik. Di Indonesia punya Biro Pusat Statistik (BPS).
Setiap bulan BPS mempublikasikan inflasi Indonesia berapa persen dan angka ini didapet dari hasil pengumpulan data yang kemudian diolah lebih lanjut.
Data yang dikumpulin tuh data apa sih? Secara teori, ada beberapa pendekatan yang digunakan, di artikel ini gue akan bahas 2 pendekatan yang paling populer yaitu: Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI) dan Indeks Harga Produsen atau Producer Price Index (PPI). Gimana penjelasan dari 2 pendekatan di atas?
Menggali Lebih Dalam Tentang Inflasi
Inflasi, yang sering didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara bertahap, memiliki dampak yang signifikan pada perekonomian suatu negara.
Fenomena ini memang terjadi secara alami dalam sistem ekonomi dan dapat dipicu oleh berbagai faktor.
Namun, perlu pemahaman yang lebih mendalam tentang penyebab dan dampaknya untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkannya.